Saturday, February 18, 2012

Tentang Hujan di bawah Hujan

Pemandangan itu muncul tadi sore, ketika gue berdiri tegak dengan atribut lengkap berbalut putih abu-abu dan sepatu hitam bertali yang rapi.

Gerimis dan Hujan itu romantis, juga misterius.
Kali pertama gue melihat pemandangan paling elok yang pernah bola mata gue pandang. Daun oranye serta biji-biji kecil jatuh dari pohon. Terbang mengikuti arah angin. Rasanya seperti memiliki musim gugur. Suasananya sejuk, perlahan menjadi dingin, bahkan sangat dingin.

Dalam keadaan sikap sempurna saat itu, gue yakin seribu persen otak dan badan gue agak nggak singkron. Mungkin ditambah efek capek dan pusing ketika itu, suara abang danton paskibra terdengar begitu samar di telinga gue. Diiringi suara rintik hujan yang mengetuk topi berlogo garuda berlambang nama lembaga dimana gue menuntut ilmu. Ketukan itu perlahan memberat. Membentuk butiran dengan radius yang lebih lebar dari sebelumnya.

Gue, yang saat itu berdiri pada ujung sebelah kanan barisan merasa beruntung. Karena pada saat itu mata gue merasa menjadi mata yang bisa menguasai seluruh detail gedung sekolah dengan event gerimis romantisnya, lengkap dengan hembusan angin yang membawa serpihan daun coklat. Disana. Di sudut lapangan.
Saat itu juga pemandangan yang tadi gue lihat dengan sekejap-sebelum akhirnya harus berbalik mengikuti perintah danton-melintaskan sebongkah argumentasi yang rancu. Yang walaupun memiliki bukti namun masih belum pasti.

Gerimis itu romantis. Buktinya, kebanyakan film menganut prinsip memeluk atau mencium pasangan dalam film tersebut dibawah butir-butir air dibandingan dengan terik matahari yang menyengat demi mendapatkan sensasi drama yang besar yang akhirnya menyentuh serta meluluhkan hati penonton dalam sebuah film.
Teori tersebut yang akhirnya menginfeksi pribadi-pribadi perempuan yang prinsipnya mudah goyah yaitu terlibat dalam kisah romantis ironis yang begitu klasik. Mengubah mindset setiap para wanita bahwa memiliki momen yang berhubungan dengan cinta dibawah naungan hujan, akan sangat indah dan berkesan.

Sepuluh detik bergeming ternyata tidak cukup bagi gue. Argumen itu gue teruskan sambil membagi fokus antar perintahbaris berbaris yang ditembakkan danton.

Gerimis itu misterius. Buktinya, kebanyakan lagu bertemakan sedih sering menyangkutpautkan hujan dan gerimis. Memberi mindset tambahan bahwa ternyata gerimis dan hujan bukan hanya background sempurna untuk momen bahagia. Melainkan secara tidak langsung dikatakan sangat bertolak belakang dari mindset pertama bahwa, gerimis itu sendu. Gerimis itu Elegi. Tidak sedikit orang yang memilih menangis dan mencari air untuk menipu mata yang melihat agar dapat menutupinya rapat-rapat. Menutupi bertubi isak perih tangis mereka.

Ratusan bahkan mungkin ribuan rahasia yang tidak dapat terungkap itu tertuang dalam titihan airmata yang akhirnya terjatuh dalam hujan dan bersatu padu dengan butiran airmata lainnya. Rahasia yang terpendam yang entah mengalir bersama ritme hujan itu sendiri. Menghilangkan jejak sertas bekas luapan emosi bagi para pemiliknya. Menghapus resah. Menimbulkan sejuta tanya.

Ketika langit tidak lagi berwarna padam, yang lama kelamaan makin meredam.
Ketika ketukan pada mulut topi gue semakin keras dan punggung tegak gue mulai merunduk.
Ketika permukaan lapangan-dengan waktu yang sebentar saja-mulai digenangi oleh air dan perintah berlari untuk meneduh itu dijatuhkan.
Ketika itu juga lamunan bongkahan argumentasi gue tertutup.

Meninggalkan torehan kata yang ingin gue wujudkan dalam sedikit paragraf ini.

No comments:

Post a Comment