Saturday, April 21, 2012


Taruh mimpi-mimpi kamu, cita-cita kamu, keyakinan kamu. Apa yg kamu mau kejar... Kamu taruh di sini. Jangan menempel di kening. Biarkan dia menggantung... mengambang... 5 centimeter di depan kening kamu...
Jadi dia nggak akan pernah lepas dari mata kamu. Dan kamu bawa mimpi dan keyakinan kamu itu setiap hari, kamu lihat setiap hari, dan percaya bahwa kamu bisa. Apa pun hambatannya, bilang sama diri kamu sendiri, kalo kamu percaya sama keinginan itu dan kamu NGGAK BISA menyerah.
Bahwa kamu akan berdiri lagi setiap kamu jatuh. Bahwa kamu akan mengejarnya sampai dapat, apa pun itu. Segala keinginan, mimpi, cita-cita, keyakinan diri. Biarkan keyakinan kamu, 5 centimeter menggantung dan mengambang di depan kening kamu.
Dan...
Sehabis itu yang kamu perlu cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, lapisan tekad yg seribu kali lebih keras dari baja, dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya. Serta mulut yang akan selalu berdoa.

(5 cm by Donny Dhirgantoro)

Tuesday, April 10, 2012

MOONPALA XIII

OK.
Mulai dari mana ya? Gue rasa alam gapunya ujung start dan ujung finish. Boleh dong kalo presepsi gue sama. Petualangan ga ada akhirnya. Gue jadi bingung harus mulai dari apa.

Gue juga gak ngerti kenapa gue nekat ikut-ikutan Pecinta Alam. Melakukan segala hal yang repot-repot itu sesungguhnya bukan gue banget. Gue cenderung males sama sesuatu yang gak praktis. Gue suka segalanya dengan instant. Kalo kata guru Biologi, mungkin insting gue yang ngebawa gue bisa survive sampe kesana. Dan gue sejuta persen gak nyesel walaupun gue pulang bawa oleh-oleh kaki nanahan kriput dan badan penuh luka ditambah salah urat di beberapa titik fatal yang menyalahi aturan anatomi tubuh gue.

Awalnya gue mikir apa gue cuman sok-sok an atau gimana. Gue juga gak ngerti kenapa gue harus segini banget nya kekeuh pengen ikut padahal gue gakpunya bayangan apapun. Gue juga merasa belum siap berhadapan langsung sama alam yang keras. Bokap nyokap gue sampe bingung semua sama gue, cewek kok gaya-gayaan banget ikutan begituan. Mudik ke Jawa aja sering banget sakit.
Satu demi satu ocehan mereka numpuk mulai dari awal gue ngumpulin barang-barang untuk naik. Bulan demi bulan ocehan mereka mulai menggunung sampai tiba hari dimana gue bener-bener akan berangkat.

Waktu itu gue berada pada dilematis yang cukup berbobot. Gue baru pulang sciencetrip sekitar jam 8 malam setelah study wisata & outbond di Bogor acara sekolahan. Persiapan gue superkurang. Malem itu gue belum bisa mutusin, nekat naik atau mundur. Logika gue beradu sama iman gue. Nyokap kelimpungan mikirin cara supaya anak gadisnya nyerah.

Tepat pukul 9 malam. Perkakas bekas sciencetrip gue gabrukin ngasal dimana-mana. Gue ganti baju yang anget-anget. Selimut udah nempel di badan, rasanya gak pengen di lepas. Badan capek pegel linu semua ngumpul jadi satu. Gue pikir-pakir lagi rencana besok. Setan mager merasuki roh gue secepet kilat sampe gue gabisa ngelawanya dan cuma bisa pasrah. Besok gimana, naik atau ga, kuat atau ga, males atau ga.

Begitu keinget berapa nominal yang udah nyokap keluarin demi perlengkapan gue, niat gue terusik, nafsu slayer merah tergugah juga. Cuman satu yang ada di pikiran gue "mau kapan lagi?". Dulu ditunggu-ditunggu banget, bagian sekarang kesempatan udah di depan mata. Kans seperti ini sama dengan satu berbanding seribu. Gue ulas lagi gimana pengorbanan ketum demi caang-caangnya yang siap ambil resiko terburuk apapun kalo sekiranya rencana ini gak lancar. Pengorbanan dia ngumpulin semua barang-barang demi caang-caang yang manja bawel dan banyak nuntut tanpa adanya aksi. Pengorbanan dia ngumpulin regenerasi baru ditambah semangat-semangat alumni supaya organisasi ini gak di freeze sama sekolah.

Setengah jam gue muter otak akhirnya dengan mantap gue memutuskan. Tekad gue udah bulet, apapun itu gue harus naik. Gue gamau aja beberapa hari kemudian gue nyesel iri setengah mampus liat mereka-mereka yang sama-sama capek tapi berhasil dapetin apa yang mereka mau. Gue harus bisa gue gak boleh manja. Sifat manja tulen gue harus dibuang jauh jauh. Jauh sampe ga keliatan lagi. Dan malam itu alhamdulillah gue tidur cukup :D

Setengah tujuh pagi gue terkulai dari alam bawah sadar gue. Alarm bunyi ga berenti-berenti. Pagi itu nyokap nanyain keputusan gue, karna kalo gue fix gue harus udah ada di lokasi jam delapan pagi. Nyokap masih membujuk-rayu gue supaya enggak ikut. Ngomong panjang lebar tentang apa aja kemungkinan terburuk yang bakal gue lewatin. Gue masih nyantai, packing aja belom. Sampe akhirnya nyokap nyerah ngomong sama gue. Nyokap akhirnya bilang kalo ternyata darah gue nurun dari alumni Gastronom tambatan hatinya, puitis abis.

Iya, Gastronom. Gastronom adalah organisasi pecinta alam para arsitek di ITS yang dianut bokap gue. Sekarang gue percaya pepatah 'air jatuh tidak jauh dari pelimbahanya'. Bukan salah gue juga kan.

Pagi itu gue berangkat dari rumah ayah Tobleng sekitar jam 10an setelah packing. Sepanjang perjalanan gue cuma bisa melongo liat kanan kiri. Mobil sampai di markas emak sekitar pukul 1 siang hari. Makan siang pertama gue di Pasir Reungit, Gn. Salak Endah. Nasi telor make kecap 6rebu. Sementara kita makan ayah Tobleng ngurusin regist kita berenam untuk naik. Dan dimulailah perjalanan keras gue, awal dari tiga hari yang akan datang.

Gak perlulah gue tulis secara detail apa aja yang terjadi selama Diklatsar. Katanya sih, rahasia perusahaan. Gue cuma mau nyampein benefitnya aja.

Satu hal yang bener-bener kerasa ketika seorang manusia melepaskan dirinya di alam. Berada jauh dari foya-foya, harta, uang, keluarga dan semua fasilitas yang ada. Gak munafik gak juga bermaksud untuk sok alim, tapi memang ketika itulah gue merasa lebih dekat sama yang diatas. Karena setiap langkah yang gue pertaruhkan di alam bebas, dengan sendirinya gue selalu mohon perlindungan dan restu dengan sungguh-sungguh. Terutama waktu hujan di malam hari, waktu gue sesek napas sampe dijejelin oksigen tambahan, waktu pandangan mata gue kuning hampir pingsan pas otw naik ke puncak. Disitulah kesabaran gue diuji. Sifat egois dan manja gue keluar. Beribu kali gue ngedumel mau pulang dalem hati sampai detik terakhir upacara pelantikan. Yang akhirnya gue sukses juga sampe hari terakhir haha gak nyangka.

Dengan keluarga baru gue beserta ayah bunda yang hebat-hebat, sore itu slayer merah yang udah gue tunggu sejak lama akhirnya disematkan juga di leher gue. Ayah bunda semuanya nyanyi syair khas mereka yang liriknya mancing banget untuk nangis, dan gue sayang banget sama mereka semua. Gaktau norak atau gimana tapi gue merasa bangga banget kalo disuruh make slayer merah itu di depan temen-temen nanti.

Mungkin mereka yang disekolah cuma anggep sebelah mata atas nama ekskul di sekolah. Kenyataannya begitu gue masuk ke area yang berbeda, gue sampe lupa kalo itu adalah sebuah ekskul. Menurut gue ini lebih dari sebuah organisasi sekolah, karena sampe tua sekalipun gapeduli berapa umur dan angkatan berapa, semuanya udah masuk dalam suatu keluarga yang punya nama khusus dan keluarga itu selalu melindungi, membantu serta membimbing anggota keluarganya.

Gue jadi belajar untuk lebih menghargai waktu, menghargai makanan, mensyukuri apa yang gue punya dirumah. Terlebih waktu gue susah payah bikin bivoak semi alami yang mirip rumah orang indiandari daun-daun pakis gitu. Gue jadi keinget kata-kata ayah Lapindo ditengah hutan malam mendung perdana gue.
"Terinspirasi dari Soe Hoek Gie yang bilang bahwa; aku mendaki gunung bukan untuk menaklukan alam, tetapi untuk lebih menghargai hidup"

Ya memang, mau seberapa banyaknya lo bawa uang di gunung gabakal guna. Kalo lo gabisa bertahan hidup, tetep aja lo bakal mati. Mungkin mengenaskan.

Wednesday, April 04, 2012

Catatan di tengah Kelas Dede Syarif

      Crystal clear, lebah madu akan bersiap kembali terbang, berpindah tempat dan hinggap di bunga yang lain. Demi manisan benang sari yang lebih segar. Dan bunga yang lama? Semakin lama akan semakin layu. Mungkin kekeringan, kekurangan air. Dan mungkin sebentar lagi akan mati. Apa boleh buat, bunga itu hanya bisa dengan sabar menunggu datangnya musim semi untuk kembali membentangkan kelopaknya.

      Siklus akan selalu berputar, seperti roda tak berujung. Seperti musim sedang yang kian begulir.
      Merekah dengan warna pekat, seperti bunga-bunga yang tumbuh kembali di musim semi. Membentuk barisan penuh warna yang membentang diatas bukit. Mengembang keemasan layaknya padi yang baru menguning. Begitulah rasanya, seperti kupu-kupu yang berterbangan kesana-kemari, mengetuk dan menggelitik dinding perut. Sempurna. Seperti orang yang sedang jatuh cinta.

      Semuanya terasa semakin panas. Membara rasa-rasa yang semakin tumbuh. Hangat, sebagaimana terus berlangsung dan semakin menyengat. Manis, seperti gulali yang laris terjual habis ketika musim panas. Terasa begitu lama, seperti yang diharapkan orang-orang terhadap musim ini. Musim yang indah penuh hiburan. Musim yang selalu dinanti-nantikan. Yang seperti tidak akan pernah berakhir.

      Ketika daun-daun berganti warna menjadi kuning berpadu coklat. Satu pertanda tibanya musim gugur. Ya, gugur. Dimana daun-daun itu mulai rontok dari dahannya. Memasuki tahapan awal suatu perpisahan menyakitkan. Terbentur aspal, terkoyak sapu, terinjak manusia, terbawa angin. layaknya kecewa, luka perih dan sendu yang mengembang. Pahit, seperti menerima kenyataan yang tidak pernah diinginkan. Kenyataan adanya perpisahan. Perpisahan yang lalu menghasilkan kesendirian.

     Sampai tiba dimana putih yang selama ini terpandang suci dan damai berubah mencekam. Dingin, membuat kulit mati rasa. Menghambat peredaran darah, mematikan. Butiran es halus turun dari langit yang menumpuk membentur bumi. Suhu dibawah nol derajat musim dingin menghasilkan stalaktit kristal di dalam goa. Stalaktit yang apabila melesat jatuh mampu menghunus jantung-jantung dibawahnya. Ya, seperti mati.

     Hal lain yang dapat dilakukan? Hanya menunggu kembali datangnya musim semi. Berputar, dan selamanya akan selalu begitu. Mungkin kelihatanya melelahkan. Tapi begitulah hidup. Sinkron kan?