Sunday, July 15, 2012

Kau tahu sebuah perahu berlayar diatas buih hijau bening. Berlayar di lautan. Diterjang ombak, diserang badai. Seperti Pincalang. Perahu pincalang yang kuat akan bertahan, namun yang kayunya mulai rapuh akan patah dan tenggelam. Badai macam apapun dan ombak setinggi apapun harus dihadapi. Perahu harus terus berlayar.

Adalah keluargaku ibarat perahu itu. Dan kami didalamnya seperti para pincalang. Berlayar tidak menentu arah. Kadang kesana kadang kemari. Persis seperti hidup kami, yang juga tak menentu. Hilang satu saja perkakas perahu, makan akan mudah roboh. Dan harus pindah ke perahu pincalang lainnya yang baru. Atau mati tenggelam, tersapu ombak di samudera luas, yang kami tak tahu berapa kedalamanya.

Jika memang Ito tidak mampu bentangkan layar diatas tiang, biar kaki ku yang memanjat Jika Anggi taksempat juga lepaskan jangkar, biar jemariku yang lakukan. Manusia kini tidak buta aksara, tetapi modernisasi membuat manusia buta. Buta harta, buta cinta. Mungkin ekspektasiku terhadap dunia terlalu muluk. Manusia kini banyak yang membatu, sampai-sampai kedalam tulang rusuk dan jantung. Tanpa hati, tanpa moral.

Masih tahunan lagi harus kuarungi samudera kehidupan. Walaupun langit diatas menyambarkan petirnya, demi Amang dan Emak, layar tetap harus dibentangkan.

(Annisa Rahma Putriana,2012)

No comments:

Post a Comment